An edited version of this article could be read in Anotasi
Pada akhir 2019 lalu, salah satu rekan saya di Bali memberi tahu kalau temannya, Beau Newham, sedang mencari seseorang untuk diajak bekerja sama. Saat itu, ia berencana untuk memulai proyek pembuatan arsip berbasis digital.
Beau bekerja di lembaga swadaya masyarakat Gaya Dewata yang berhubungan erat dengan komunitas gay dan transpuan di Bali. Ide untuk menciptakan arsip digital ini hadir karena mereka memiliki banyak album berisi foto hasil dokumentasi kegiatan dari tahun 90-an sampai 2000-an yang perlu diarsipkan.
Selain album foto, di kantor mereka juga terdapat banyak tumpukan buletin komunitas. Buletin komunitas memang banyak diterbitkan oleh berbagai organisasi queer (sebutan untuk orang-orang yang bukan heteroseksual atau cisgender–memiliki identitas gender yang sesuai dengan jenis kelaminnya saat lahir) di Indonesia sejak tahun 80-an. Namun, keberadaannya digantikan oleh internet pada awal dekade 2010-an.
Sebagai seseorang yang saat itu sedang mempelajari Kajian Museum dan Cagar di Sydney, saya pun sangat tertarik untuk terlibat dalam proyek tersebut. Akhirnya, pada libur semester saya di awal tahun 2020, kami kembali bertemu di Bali untuk merencanakan proyek pengarsipan ini. Kami menamai proyek ini *Queer Indonesian Archive* atau QIA (Arsip Queer Indonesia).
Kami mengawali proyek ini dengan membagi tugas. Saat itu, Beau bertanggung jawab untuk mengumpulkan arsip yang ada di Indonesia. Sementara, saya bertugas untuk mengumpulkan data dari berbagai organisasi queer Indonesia yang ada di arsip, seperti Australian Queer Archive dan perpustakaan Australia.
Setelah semuanya terkumpul, kami berencana mengunjungi kota-kota di Indonesia untuk mencari lebih banyak arsip setelah saya menyelesaikan studi. Sayangnya, rencana kami terpaksa berubah karena pandemi. Beau harus pulang ke Melbourne di awal pandemi, sementara saya masih melanjutkan studi di Sydney sampai Agustus 2020. Karena itu, kami pun memutuskan untuk mengerjakan hal-hal yang bisa dilakukan secara daring terlebih dahulu. Misalnya dengan mencari, memilah, dan menyusun berbagai arsip komunitas queer yang pernah didigitalisasi.
Untungnya, berkat antusiasme dan bantuan dari para anggota komunitas, kami berhasil mendapatkan cukup banyak data untuk dipindai (scan) dan diarsipkan. Kemudian, hasil dari pemindaian tersebut kami teliti kembali untuk dijadikan landasan pencarian materi lebih lanjut. Setelah semuanya terkumpul, dokumen pindaian ini pun kami atur agar lebih mudah dibaca.
Namun, kami tidak berhenti pada pengarsipan dokumen saja. Kami juga mencari representasi queer di Indonesia dalam media cetak maupun elektronik, untuk diajak bekerja sama. Terakhir, bersamaan dengan proses pengumpulan data, kami menyusun sebuah situs di internet di mana kami memublikasikan materi yang sudah diarsipkan agar bisa diakses oleh publik.
Sejak awal QIA mulai bergerak, ada banyak sukarelawan yang membantu kami. Bahkan sejujurnya, saya cukup terkejut ketika melihat antusiasme dari mereka yang ingin membantu QIA saat kami pertama kali membuka pendaftaran untuk sukarelawan.
Rekaman memori kolektif diharapkan bisa membantu komunitas queer membangun identitas, baik secara individu maupun kolektif.
Banyak orang, baik yang queer ataupun cisgender-heteroseksual, yang ingin ikut membangun arsip yang mengumpulkan dan merekam sejarah kelompok queer pertama di Indonesia. Hal ini tentu cukup mengejutkan, mengingat hasil riset Pew pada tahun 2020 yang menyatakan bahwa kelompok queer hanya diterima oleh 9% masyarakat Indonesia.
Di QIA, sukarelawan kami memiliki peran yang sangat beragam. Contohnya, ada yang bertugas untuk mengurus teknologi informasi, ada yang meneliti materi untuk diarsipkan, ada pula yang bertanggung jawab untuk mendesain logo kami. Berkat bantuan para sukarelawan ini, situs QIA pun berhasil diluncurkan pada tanggal 1 Juli 2020. Bahkan saat saya kembali ke Indonesia pada awal Agustus 2020, QIA juga sudah mulai mengarsipkan materi dari anggota komunitas yang menyumbangkan koleksi pribadinya. Biasanya, materi yang kami terima sudah dikonversi ke dalam bentuk digital. Namun, kalaupun belum, kami bisa membantu proses konversi materi tersebut ke bentuk digital sebelum dikembalikan ke narasumber.
Dalam QIA, kami memang tidak menyusun sebuah arsip fisik, setidaknya untuk saat ini. Namun, kami terus menambah koleksi yang merepresentasikan komunitas queer dari berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Selain itu, kami juga mengarsipkan beberapa situs dan forum queer dari awal dekade 2000-an seperti forum gay BoyzForum dan blog lesbian SepociKopi. Rencananya, jika keadaan sudah memungkinkan, QIA akan melakukan perjalanan ke beberapa kota di Indonesia untuk mengumpulkan materi di kota-kota tersebut.
Refleksi dari Kegiatan Queer Indonesia Archive
Selama proses penyusunan arsip QIA, saya bertemu dengan banyak orang queer dari berbagai latar belakang. Hal ini mengingatkan saya akan persepsi masyarakat yang masih sering menganggap komunitas queer sebagai kelompok yang seragam dan sejenis. Padahal, identitas queer hanyalah salah satu bagian dari kepribadian seorang individu yang begitu kompleks.
Identitas seksual dan gender seseorang berkelindan dengan identitasnya yang lain seperti etnis, ras, agama, generasi, dan kelas sosial. Karena itu, dalam komunitas queer pun masih sering terjadi perbedaan perspektif dan pendapat. Ada cara hidup atau istilah yang dianggap lumrah oleh kelompok queer tertentu, namun belum tentu diterima oleh kelompok queer yang lain.
Menurut saya, ini adalah hal yang wajar. Ada banyak cara valid untuk mengekspresikan diri sebagai queer. Selama kita bisa saling mendukung dan menghargai, maka akan selalu ada ruang di komunitas untuk segala jenis ekspresi queer.